Aku mencintai hatiku lebih dari yang banyak orang tahu. Aku
menyelimuti hatiku dengan selubung tipis. Aku berjaga agar hatiku tidak
tergores.
Kau bilang hatiku bagaikan permata. Kau salah. Hatiku ini adalah
batu pualam. Dan takkan ku biarkan satu tangan pun membuatnya hancur.
Namun batu pualam ini tetap saja retak. Retakan halus yang kian
lama membesar.
Mimpi
itu, sebuah mimpi yang sama. Mimpi yang selalu Mey alami jika pada malam
sebelumnya mamanya menelpon. Mey terbangun dari tidurnya bahkan jauh dari
waktunya jam weker berbunyi. Dikuceknya kedua matanya malas. Tangannya
menggosok wajahnya pelan. Bayangan kejadian lima tahun lalu terlintas kembali.
Alasan ia pergi meninggalkan kampong halamannya dan menjejakkan kakinya di ibukota
saat itu.
Mey
menoleh melihat jam wekkernya, waktu masih menunjukan pukul 4 pagi. Ia
menggambrukkan kembali badannya. Matanya berusaha keras untuk terpejam kembali,
tapi ternyata itu adalah hal yang mustahil. Tubuh mungilnya terasa sakit,
mungkin ia sudah terlalu lelah menanggung rasa sakit yang membuat tubuhnya
tidak dapat rileks. Mey memutuskan untuk melakukan kegiatan rutin hanya dengan
kondisi lebih pagi.
Hari
ini hari sabtu, Mey mengeluarkan sepedah dan mengayuhnya ke taman yang berjarak
2 km dari apartemennya. Di taman ia melihat banyak keluarga atau
pasangan-pasangan kekasih sedang menghabiskan weekend paginya di taman. Mey menghentikan sepedahnya di pinggir
sebuah kolam dan menerawang jauh.
Limabelas
menit Mey hanya diam. Di dalam kepalanya terlintas bayangan-bayangan masa
lalunya. Aku pasti pernah seperti mereka.
Aku pasti pernah bahagia. Dengan keluargaku. Dulu. Ponsel dalam sakunya
bergetar. Mey tetap diam. Getaran itu terasa lebih lama. Getaran dari ponsel
dalam sakunya itu akhirnya memenangkan perhatiannya.
“Halo,
selamat pagi dengan Ijuuin Mei Lin?”tanya sebuah suara berat dari seberang.
“Pagi,
ya saya Mei Lin. Ada apa ya?” jawab Mey formal. Sepagi ini? Pria dewasa? Siapa? Ada yang aneh.
“Ijuuin-san,
saya Saejima Kenji. Informasi yang dibutuhkan sudah kami krim ke email
anda…………,” kata-kata pemilik suara dari seberang tidak lagi Mey dengarkan
secara seksama. Mata sipit Mey tampak membulat. Ia tampak hanya
mengangguk-angguk mendengar apa yang di katakan orang dari seberang telpon itu.
Setelah mengucapkan terimakasih, Mey menutup telponnya dan segera pulang.
Di
rumah Minori tampak bingung melihat kondisi sahabatnya. Semenjak pulang dari
bersepedah pagi Mey tampak murung, apalagi ia pulang ke apartemennya dengan
mata berkaca-kaca. Jika hal ini terjadi Minori juga tidak berani ambil resiko.
Agak
kesal dengan kondisi teman serumahnya, akhirnya Minori memberanikan diri
mengetuk kamar Mey. Dalam hati Minori berdoa agar ia tidak terkena damprat.
Mengetuk pelan, sesaat kemudian pintu terbuka. Tidak ada siapa-siapa di balik
pintu, terlihat Mey duduk di tepi tempat tidurnya.
“Alamat
rumah papaku sudah ditemukan. Apa yang harus ku lakukan?” kata Mey tiba-tiba.
Mungkin itu adalah kata-kata pertama yang ia ucapkan sepulang dari bersepedah
pagi ini. Mata Minori melebar, ia sekarang tahu dengan jelas, sebab dari sikap
uring-uringan Mey pagi ini. Minori hanya bergumam, ia sendiri juga bingung.
Situasi ini terlalu sulit untuk ia pecahkan. Karena bagaimanapun juga ia hanya
pihak luar.
“Sore
ini aku akan pergi, mencoba tak burukkan?” setelah lama terdiam Mey bicara
lagi. Ia tahu menanyakan pendapat sahabatnyapun akan percuma. Minori hanya akan
bingung. Yang ia ucapkan kali ini bukan pertanyaan tapi pernyataan.
Setelah
meninggalkan Mey di kamarnya, Minori hanya diam di kamarnya. Situasi yang
dihadapi sahabatnya sangat membuatnya sedih. Sudah terlalu banyak hal buruk
yang dialami Mey disebabkan oleh pria yang akan ia temui sore ini. Tapi rasa
penasaran dalam hati Mey tidak mungkin dapat ia bendung dengan alasan-alasan
logis yang sering ia lontarkan sebelumnya. Minori hanya berharap hal yang
terbaik akan terjadi dan sahabatnya bisa bahagia.
Mey bersiap, ia mengenakan pakaian dan sepatu
terbaiknya. Ia berdandan serapi mungkin. Setelah siap Mey keluar dari kamarnya
dan mendekati kamar Minori. Ia menguk pintu kamar Minori, tapi tidak ada
sahutan dari dalam kamar. Minori, kumohon
jangan mengasihaniku ataupun bersedih untukku.
Menyerah
pada pintu kamar Minori yang membisu, Mey berjalan keluar dan menuju halte bus
terdekat dari apartemennya. Ia membaca kembali sekilas kertas di tangannya.
Saat bus datang dan membawanya pergi, dalam hati Mey merasa takut bercampur
bahagia. Ia memilih banyak kata-kata yang akan ia katakanya pada sang papa yang
seumur hidupnya belum pernah ia lihat secara langsung. Mey membuka dompetnya
melihat sebuah foto yang terselip di salah satu kantong. Foto sepasang manusia
yang tersenyum dengan latar belakang kembang api. Inikah alasan mimpi itu datang lagi semalam.
(bersambung...)
(bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar