Selasa, 18 September 2012

futari nin no omoide wasure teshimau mae ni (before the memories of us are forgotten) part II


Aku mencintai hatiku lebih dari yang banyak orang tahu. Aku menyelimuti hatiku dengan selubung tipis. Aku berjaga agar hatiku tidak tergores.
Kau bilang hatiku bagaikan permata. Kau salah. Hatiku ini adalah batu pualam. Dan takkan ku biarkan satu tangan pun membuatnya hancur.
Namun batu pualam ini tetap saja retak. Retakan halus yang kian lama membesar.

Mimpi itu, sebuah mimpi yang sama. Mimpi yang selalu Mey alami jika pada malam sebelumnya mamanya menelpon. Mey terbangun dari tidurnya bahkan jauh dari waktunya jam weker berbunyi. Dikuceknya kedua matanya malas. Tangannya menggosok wajahnya pelan. Bayangan kejadian lima tahun lalu terlintas kembali. Alasan ia pergi meninggalkan kampong halamannya dan menjejakkan kakinya di ibukota saat itu.
Mey menoleh melihat jam wekkernya, waktu masih menunjukan pukul 4 pagi. Ia menggambrukkan kembali badannya. Matanya berusaha keras untuk terpejam kembali, tapi ternyata itu adalah hal yang mustahil. Tubuh mungilnya terasa sakit, mungkin ia sudah terlalu lelah menanggung rasa sakit yang membuat tubuhnya tidak dapat rileks. Mey memutuskan untuk melakukan kegiatan rutin hanya dengan kondisi lebih pagi.
Hari ini hari sabtu, Mey mengeluarkan sepedah dan mengayuhnya ke taman yang berjarak 2 km dari apartemennya. Di taman ia melihat banyak keluarga atau pasangan-pasangan kekasih sedang menghabiskan weekend paginya di taman. Mey menghentikan sepedahnya di pinggir sebuah kolam dan menerawang jauh.
Limabelas menit Mey hanya diam. Di dalam kepalanya terlintas bayangan-bayangan masa lalunya. Aku pasti pernah seperti mereka. Aku pasti pernah bahagia. Dengan keluargaku. Dulu. Ponsel dalam sakunya bergetar. Mey tetap diam. Getaran itu terasa lebih lama. Getaran dari ponsel dalam sakunya itu akhirnya memenangkan perhatiannya.
“Halo, selamat pagi dengan Ijuuin Mei Lin?”tanya sebuah suara berat dari seberang.
“Pagi, ya saya Mei Lin. Ada apa ya?” jawab Mey formal. Sepagi ini? Pria dewasa? Siapa? Ada yang aneh.
“Ijuuin-san, saya Saejima Kenji. Informasi yang dibutuhkan sudah kami krim ke email anda…………,” kata-kata pemilik suara dari seberang tidak lagi Mey dengarkan secara seksama. Mata sipit Mey tampak membulat. Ia tampak hanya mengangguk-angguk mendengar apa yang di katakan orang dari seberang telpon itu. Setelah mengucapkan terimakasih, Mey menutup telponnya dan segera pulang.
Di rumah Minori tampak bingung melihat kondisi sahabatnya. Semenjak pulang dari bersepedah pagi Mey tampak murung, apalagi ia pulang ke apartemennya dengan mata berkaca-kaca. Jika hal ini terjadi Minori juga tidak berani ambil resiko.
Agak kesal dengan kondisi teman serumahnya, akhirnya Minori memberanikan diri mengetuk kamar Mey. Dalam hati Minori berdoa agar ia tidak terkena damprat. Mengetuk pelan, sesaat kemudian pintu terbuka. Tidak ada siapa-siapa di balik pintu, terlihat Mey duduk di tepi tempat tidurnya.
“Alamat rumah papaku sudah ditemukan. Apa yang harus ku lakukan?” kata Mey tiba-tiba. Mungkin itu adalah kata-kata pertama yang ia ucapkan sepulang dari bersepedah pagi ini. Mata Minori melebar, ia sekarang tahu dengan jelas, sebab dari sikap uring-uringan Mey pagi ini. Minori hanya bergumam, ia sendiri juga bingung. Situasi ini terlalu sulit untuk ia pecahkan. Karena bagaimanapun juga ia hanya pihak luar.
“Sore ini aku akan pergi, mencoba tak burukkan?” setelah lama terdiam Mey bicara lagi. Ia tahu menanyakan pendapat sahabatnyapun akan percuma. Minori hanya akan bingung. Yang ia ucapkan kali ini bukan pertanyaan tapi pernyataan.
Setelah meninggalkan Mey di kamarnya, Minori hanya diam di kamarnya. Situasi yang dihadapi sahabatnya sangat membuatnya sedih. Sudah terlalu banyak hal buruk yang dialami Mey disebabkan oleh pria yang akan ia temui sore ini. Tapi rasa penasaran dalam hati Mey tidak mungkin dapat ia bendung dengan alasan-alasan logis yang sering ia lontarkan sebelumnya. Minori hanya berharap hal yang terbaik akan terjadi dan sahabatnya bisa bahagia.
 Mey bersiap, ia mengenakan pakaian dan sepatu terbaiknya. Ia berdandan serapi mungkin. Setelah siap Mey keluar dari kamarnya dan mendekati kamar Minori. Ia menguk pintu kamar Minori, tapi tidak ada sahutan dari dalam kamar. Minori, kumohon jangan mengasihaniku ataupun bersedih untukku.
Menyerah pada pintu kamar Minori yang membisu, Mey berjalan keluar dan menuju halte bus terdekat dari apartemennya. Ia membaca kembali sekilas kertas di tangannya. Saat bus datang dan membawanya pergi, dalam hati Mey merasa takut bercampur bahagia. Ia memilih banyak kata-kata yang akan ia katakanya pada sang papa yang seumur hidupnya belum pernah ia lihat secara langsung. Mey membuka dompetnya melihat sebuah foto yang terselip di salah satu kantong. Foto sepasang manusia yang tersenyum dengan latar belakang kembang api. Inikah alasan mimpi itu datang lagi semalam.
(bersambung...)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar