Selasa, 11 September 2012

futari nin no omoide wasure teshimau mae ni (before the memories of us are forgotten) part I

Kringggg… … …, suara sebuah jam weker di meja dengan taplak renda merah jambu memecahkan keheningan pagi itu. Tangan yang malas menggapainya dengan lemah. Meleset. Sekali lagi mencoba untuk menggapai benda bulat dengan bunyi nyaring. Berhasil, jam weker kuning itu akhirnya diam.
Dengan perasaan yang ogah-ogahan Mey bangun dan dengan sekuat tenaga berusaha mengumpulkan lebih banyak nyawa. Mungkin baru jam 2 malam Mey tidur setelah sahabatnya mengoceh tentang pertengkarannya dengan sang pacar semalam. Mey duduk di tepi tempat tidur. Memulai pagi hari dengan doa pagi yang lupa-lupa ingat diucapkan. Semoga Tuhan di atas sana tahu maksud dari doa kacau Mey pagi ini. Melirik catatan kecil yang tertempel di meja dekat tempat tidur.

Harus dilakukan:
1.   Lipat selimut
2.   Tata tempat tidur
3.   Sisir rambut
4.   Ambil anduk
5.   Mandi

Mata masih berat untuk terbuka, diraih selimut pelindung dari dinginnya malam dan dilipat asal-asalan. Berdiri sejenak, terhuyung berusaha tidak roboh lagi ke tempat tidur yang nyaman. Dengan secepat mungkin Mey merapikan tempat tidur dan berjalan menuju meja rias di samping almari baju.
Sejenak memandangi cermin yang ada di hadapannya dan menyisir rambut. Kebiasaan yang tak akan pernah berubah. Jika tidak terlambat atau sedang terburu-buru karena ujian pasti Mey menyempatkan beberapa menit hilang di depan cermin ini. Menyisir rambut hitam lurus sepinggang menepuk kedua pipinya pelan sambil berkata lirih,” Hari ini pasti lebih baik dari hari kemarin, Mey faithing.”
“Huahhhhhh,” Mey menguap. Oksigen dalam paru-parunya memang belum terisi dengan baik. Berdiri dan dengan sekali sentakan tirai berwarna merah jambu terbuka. Cahaya matahari yang terang menembus masuk ke kamar ukuran 3x4m itu. Membuka jendela menghirup sebanyak mungkin udara pagi yang masih bisa dihirup. Apa jadwal hari ini.
Menyabet handuk yang di jemur miring di balik pintu kamar dan bergegas mandi. Terdengar sayup suara dari dalam kamar mandi. Suara nyanyian yang familiar di telinga Mey. Tumben pagi-pagi gini udah mandi.
“Minori, apa kamu ada kuliah pagi?” tanya Mey pada sang empunya suara yang terdengar dari kamar mandi. “Minori-san,” ulang nya sambil mengetok pintu kamar mandi. Mey melihat sekeliling apartemen kecil yang ia dan kawan masa kecilnya Minori tempati. Terlihat tumpukan piring dan gelas kotor yang belum sempat ia sentuh di bak cuci piring. Dengan malas Mey menyandarkan tubuhnya di tembok terdekat dan memerosotkan tubuhnya perlahan ke lantai. Kedua kakinya di tekuk dan kedua tangannya ditepukan pelan ke pipinya.
“Mey-mey, kamu sudah bangun? Ku kira kau masih tidur. Sepertinya kau tidur larut,” terdengar suara membuyarkan lamunan Mey pagi itu. Gadis yang terduduk di lantai itu menaikkan kepalanya menatap temannya yang telah selesai mandi. Tercium aroma sabun yang wangi dan aura hangat dari air panas yang digunakan.
“Apa kau ada kuliah pagi Minori-san?” kalimat tanya dibalas dengan kalimat tanya. Agak sulit berdiri. Dengan kaki yang sedikit kesemutan badan gadis itu hampir roboh. Minori yang melihat sahabatnya akan terjatuh, dengan sigap menangkap lengannya.
Kapan Mey bisa lebih berhati-hati. “Ya, nanti aku ada kuliah jam 9 pagi. Hati-hati, apa kakimu tak apa-apa?” Seulas senyum tipis tampak menghiasi wajah yang tampak segar sehabis mandi.
Mey hanya mengangguk dan mengambil handuknya yang terjatuh langsung bergegas masuk ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, lagi-lagi Mey menyandarkan tubuhnya di pintu dan memerosotkannya hingga terduduk di lantai kamar mandi yang basah. Menutupi wajahnya yang oriental dengan kedua tangannya. Terdengar isak pelan di balik tangan. Suara isak itu teredam oleh gemericik air kran yang mulai memenuhi bak mandi. Mama. Mey menyebutkan orang yang ia rindukan.

Apa dia tak bosan membaca di sudut itu sendiri. Bodoh. Mana mungkin bosan, dia sedang membaca. Dan ini perpustakaan. Tertarik, mungkin itu adalah perasaan yang dialami oleh Mey akhir-akhir ini.
Seorang pemuda dengan usia sekitar 20 tahunan tampak sedang membaca di sudut perpustakaan. Wajahnya tampak serius melihat huruf-huruf yang ada di dalam buku yang sedang dibacanya. Mey melihatnya secara tersembunyi di balik rak-rak buku yang tinggi. Dia memakai kacamata, pasti karena suka baca buku. Keren.
Sekilas Mey pasti menyempatkan diri melihat pemuda yang menjadi perhatiannya dua minggu terakhir ini.  Walaupun tujuan utama Mey datang ke perpustakaan bukan untuk itu. Ia bukanlah tipe gadis yang menghabiskan waktunya hanya untuk hal yang tidak jelas. Seperti mencari perhatian pemuda di sekitarnya.
Pandangan Mey telah beralih ke sebuah buku tebal. Ia membaca sekilas judul yang ada di sampul buku berwarna biru tua itu. ‘Edulogy’. Tersirat walau hanya sesaat keraguan di wajah Mey. Sepertinya buku itu terlalu tebal. Satu halaman, dua halaman hingga halaman ke sebelas kemudian dengan cepat ia memnutup buku itu dan berjalan menuju petugas jaga perpustakaan.
Segera buku bersampul biru itu berpindah tangan. “Kartu mahasiswa,” kata petugas perpustakaan singkat. Mey menyodorkan kartu berwarna krem yang dihiasi dengan fotonya. “Saejima Mei Lin.” Hanya sebuah anggukkan singkat yang didapatkan petuas itu sebagai pengganti jawaban.
Dengan senyuman yang menghiasi wajannya tak lupa buku bersampul biru di tangannya, Mey melangkahkan kakinya ke ruang kuliahnya. Ruang dengan bangku yang berderet rapi itu masih tampak lenggang. Terdapat tiga anak perempuan di deretan bangku bagian tengah. Mey tersenyum menyapa. sambil meletakkan tasnya Mey memutar bolamatanya. Apa tidak ada pilihan baju lain yang bisa mereka pakai? Itu rok mini.
Tempat duduk yang selalu menjadi favorit Mey bukan di depan atau di balakang, tapi di bangku sebelah kiri kelas dimana terdapat jendela besar berderet. Di balik jendela kelas Mey di lantai dua itu dapat di lihat sebuah kolam Universitas Tokyo yang cukup besar dan bersih dengan sebuah pohon sakura yang menjadi pelengkap indahnya suasana. Apalagi jika musim bunga sakura mekar seperti saat ini.
Jam tangan yang melingkari tangan Mey telah menunjukan pukul 12 siang. Dosen menutup kuliah siang itu. Setelah membereskan barang bawaannnya Mey berjalan keluar melenggang menuju kolam kampusnya. Tak lupa buku yang baru dipinjamnya dari perpustakaan ia bawa dalam pelukannya.
Walaupun bunga sakura sedang mekar dengan indahnya, kolam kampus tetap tampak lenggang karena matahari siang itu tetap terik bersinar. Biasanya sekitar kolam dan pohon sakura akan sangat ramai saat hari menjelang senja, sekitar pukul 4 sore hari. Mey berjalan menuju tempat favoritnya membaca buku yaitu di bawah pohon sakura. Namun langkahnya terhenti, senyum di wajahnya sedikit memudar.
Mey melihat sepasang kaki menyembul dari balik pohon sakura. Ada yang sudah menempati daerah favoritnya. Ia memiringkan tubuhnya berusaha melihat orang yang berteduh di bawah pohon sakura. Seorang pemuda yang tertidur dengan buku yang menutupi wajahnya. Baju kotak-kotak ini. Mey melihat baju yang dipakai pemuda itu tampak familiar di matanya. Pemuda itu adalah pemuda yang ia lihat di perpustakaan. Untuk kali ini tak apa lah, aku mengalah. Tapi tidak utuk lain kali. Mey pun berjalan menjauhi kolam, menuju kantin.
Siang ini tetap seperti siang-siang sebelumnya dan kondisi kantin tetap seperti kantin-kantin pada umumnya sangat ramai. Keramaian adalah suasana yang sangat Mey benci. Buku di yang sebelumnya ada dalam pelukannya berpindah ke dalam tasnya yang aman. Matanya tampak melihat sekeliling, ia tampak mencari seseorang.
Sekelompok gadis di meja tengah melambaikan tangan pada Mey. “Mei Lin,” seru salah seorang. Melihat orang yang ia cari, Mey langsung berjalan cepat menghampiri teman serumahnya itu.
“Holla,” sapa Mey singkat sambil mencomot drumstick yang ada di piring temannya. Dua orang menggeser duduknya, memberi sebuah jeda yang cukup untuknya duduk.
“Aku kaget, biasanya kau jadi hantu penunggu pohon sakura jika jam-jam segini,” kata Minori dengan wajah yang agak bingung. Mey menjawab pertanyaan temannya itu hanya dengan tersenyum, terlintas dalam benaknya alasan ia meninggalkan pohon sakuranya sambil mengeluarkan kotak makan yang telah ia persiapkan tadi pagi.
Jika sahabatnya yang satu ini hanya menjawab pertanyaan dengan tersenyum seperti saat ini, Minori sudah tahu walaupun dipaksa Mey tidak akan menjawab. Jawaban Mey hanya akan menjadi rahasianya sendiri. Ayam bumbu teriyaki adalah menu makan siang Mey hari ini. Walau tak seenak rasa masakan ibunya, Mey cukup percaya diri untuk memasak.

(bersambung...)      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar