Kringggg… … …, suara sebuah jam weker di meja dengan taplak renda
merah jambu memecahkan keheningan pagi itu. Tangan yang malas menggapainya
dengan lemah. Meleset. Sekali lagi mencoba untuk menggapai benda bulat dengan
bunyi nyaring. Berhasil, jam weker kuning itu akhirnya diam.
Dengan perasaan yang ogah-ogahan Mey bangun dan dengan sekuat
tenaga berusaha mengumpulkan lebih banyak nyawa. Mungkin baru jam 2 malam Mey
tidur setelah sahabatnya mengoceh tentang pertengkarannya dengan sang pacar
semalam. Mey duduk di tepi tempat tidur. Memulai pagi hari dengan doa pagi yang
lupa-lupa ingat diucapkan. Semoga Tuhan di atas sana tahu maksud dari doa kacau
Mey pagi ini. Melirik catatan kecil yang tertempel di meja dekat tempat tidur.
Harus dilakukan:
1. Lipat selimut
2. Tata tempat tidur
3. Sisir rambut
4. Ambil anduk
5. Mandi
Mata
masih berat untuk terbuka, diraih selimut pelindung dari dinginnya malam dan dilipat
asal-asalan. Berdiri sejenak, terhuyung berusaha tidak roboh lagi ke tempat
tidur yang nyaman. Dengan secepat mungkin Mey merapikan tempat tidur dan
berjalan menuju meja rias di samping almari baju.
Sejenak
memandangi cermin yang ada di hadapannya dan menyisir rambut. Kebiasaan yang
tak akan pernah berubah. Jika tidak terlambat atau sedang terburu-buru karena
ujian pasti Mey menyempatkan beberapa menit hilang di depan cermin ini.
Menyisir rambut hitam lurus sepinggang menepuk kedua pipinya pelan sambil
berkata lirih,” Hari ini pasti lebih baik dari hari kemarin, Mey faithing.”
“Huahhhhhh,”
Mey menguap. Oksigen dalam paru-parunya memang belum terisi dengan baik.
Berdiri dan dengan sekali sentakan tirai berwarna merah jambu terbuka. Cahaya
matahari yang terang menembus masuk ke kamar ukuran 3x4m itu. Membuka jendela
menghirup sebanyak mungkin udara pagi yang masih bisa dihirup. Apa jadwal hari ini.
Menyabet
handuk yang di jemur miring di balik pintu kamar dan bergegas mandi. Terdengar
sayup suara dari dalam kamar mandi. Suara nyanyian yang familiar di telinga
Mey. Tumben pagi-pagi gini udah mandi.
“Minori,
apa kamu ada kuliah pagi?” tanya Mey pada sang empunya suara yang terdengar
dari kamar mandi. “Minori-san,” ulang nya sambil mengetok pintu kamar mandi.
Mey melihat sekeliling apartemen kecil yang ia dan kawan masa kecilnya Minori
tempati. Terlihat tumpukan piring dan gelas kotor yang belum sempat ia sentuh
di bak cuci piring. Dengan malas Mey menyandarkan tubuhnya di tembok terdekat
dan memerosotkan tubuhnya perlahan ke lantai. Kedua kakinya di tekuk dan kedua
tangannya ditepukan pelan ke pipinya.
“Mey-mey,
kamu sudah bangun? Ku kira kau masih tidur. Sepertinya kau tidur larut,”
terdengar suara membuyarkan lamunan Mey pagi itu. Gadis yang terduduk di lantai
itu menaikkan kepalanya menatap temannya yang telah selesai mandi. Tercium
aroma sabun yang wangi dan aura hangat dari air panas yang digunakan.
“Apa
kau ada kuliah pagi Minori-san?” kalimat tanya dibalas dengan kalimat tanya.
Agak sulit berdiri. Dengan kaki yang sedikit kesemutan badan gadis itu hampir
roboh. Minori yang melihat sahabatnya akan terjatuh, dengan sigap menangkap
lengannya.
Kapan Mey bisa lebih berhati-hati. “Ya, nanti aku ada kuliah jam 9 pagi. Hati-hati, apa kakimu tak apa-apa?”
Seulas senyum tipis tampak menghiasi wajah yang tampak segar sehabis mandi.
Mey
hanya mengangguk dan mengambil handuknya yang terjatuh langsung bergegas masuk
ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, lagi-lagi Mey menyandarkan tubuhnya di
pintu dan memerosotkannya hingga terduduk di lantai kamar mandi yang basah.
Menutupi wajahnya yang oriental dengan kedua tangannya. Terdengar isak pelan di
balik tangan. Suara isak itu teredam oleh gemericik air kran yang mulai
memenuhi bak mandi. Mama. Mey
menyebutkan orang yang ia rindukan.
Apa dia tak bosan membaca di sudut itu sendiri. Bodoh. Mana
mungkin bosan, dia sedang membaca. Dan ini perpustakaan. Tertarik, mungkin itu adalah perasaan yang dialami oleh Mey
akhir-akhir ini.
Seorang
pemuda dengan usia sekitar 20 tahunan tampak sedang membaca di sudut
perpustakaan. Wajahnya tampak serius melihat huruf-huruf yang ada di dalam buku
yang sedang dibacanya. Mey melihatnya secara tersembunyi di balik rak-rak buku
yang tinggi. Dia memakai kacamata, pasti
karena suka baca buku. Keren.
Sekilas
Mey pasti menyempatkan diri melihat pemuda yang menjadi perhatiannya dua minggu
terakhir ini. Walaupun tujuan utama Mey
datang ke perpustakaan bukan untuk itu. Ia bukanlah tipe gadis yang menghabiskan
waktunya hanya untuk hal yang tidak jelas. Seperti mencari perhatian pemuda di
sekitarnya.
Pandangan
Mey telah beralih ke sebuah buku tebal. Ia membaca sekilas judul yang ada di
sampul buku berwarna biru tua itu. ‘Edulogy’. Tersirat walau hanya sesaat
keraguan di wajah Mey. Sepertinya buku itu terlalu tebal. Satu halaman, dua
halaman hingga halaman ke sebelas kemudian dengan cepat ia memnutup buku itu
dan berjalan menuju petugas jaga perpustakaan.
Segera
buku bersampul biru itu berpindah tangan. “Kartu mahasiswa,” kata petugas
perpustakaan singkat. Mey menyodorkan kartu berwarna krem yang dihiasi dengan
fotonya. “Saejima Mei Lin.” Hanya sebuah anggukkan singkat yang didapatkan
petuas itu sebagai pengganti jawaban.
Dengan
senyuman yang menghiasi wajannya tak lupa buku bersampul biru di tangannya, Mey
melangkahkan kakinya ke ruang kuliahnya. Ruang dengan bangku yang berderet rapi
itu masih tampak lenggang. Terdapat tiga anak perempuan di deretan bangku
bagian tengah. Mey tersenyum menyapa. sambil meletakkan tasnya Mey memutar
bolamatanya. Apa tidak ada pilihan baju
lain yang bisa mereka pakai? Itu rok mini.
Tempat
duduk yang selalu menjadi favorit Mey bukan di depan atau di balakang, tapi di
bangku sebelah kiri kelas dimana terdapat jendela besar berderet. Di balik
jendela kelas Mey di lantai dua itu dapat di lihat sebuah kolam Universitas
Tokyo yang cukup besar dan bersih dengan sebuah pohon sakura yang menjadi
pelengkap indahnya suasana. Apalagi jika musim bunga sakura mekar seperti saat
ini.
Jam
tangan yang melingkari tangan Mey telah menunjukan pukul 12 siang. Dosen
menutup kuliah siang itu. Setelah membereskan barang bawaannnya Mey berjalan
keluar melenggang menuju kolam kampusnya. Tak lupa buku yang baru dipinjamnya
dari perpustakaan ia bawa dalam pelukannya.
Walaupun
bunga sakura sedang mekar dengan indahnya, kolam kampus tetap tampak lenggang
karena matahari siang itu tetap terik bersinar. Biasanya sekitar kolam dan
pohon sakura akan sangat ramai saat hari menjelang senja, sekitar pukul 4 sore
hari. Mey berjalan menuju tempat favoritnya membaca buku yaitu di bawah pohon
sakura. Namun langkahnya terhenti, senyum di wajahnya sedikit memudar.
Mey
melihat sepasang kaki menyembul dari balik pohon sakura. Ada yang sudah
menempati daerah favoritnya. Ia memiringkan tubuhnya berusaha melihat orang
yang berteduh di bawah pohon sakura. Seorang pemuda yang tertidur dengan buku
yang menutupi wajahnya. Baju kotak-kotak
ini. Mey melihat baju yang dipakai pemuda itu tampak familiar di matanya.
Pemuda itu adalah pemuda yang ia lihat di perpustakaan. Untuk kali ini tak apa lah, aku mengalah. Tapi tidak utuk lain kali.
Mey pun berjalan menjauhi kolam, menuju kantin.
Siang
ini tetap seperti siang-siang sebelumnya dan kondisi kantin tetap seperti
kantin-kantin pada umumnya sangat ramai. Keramaian adalah suasana yang sangat
Mey benci. Buku di yang sebelumnya ada dalam pelukannya berpindah ke dalam
tasnya yang aman. Matanya tampak melihat sekeliling, ia tampak mencari
seseorang.
Sekelompok
gadis di meja tengah melambaikan tangan pada Mey. “Mei Lin,” seru salah
seorang. Melihat orang yang ia cari, Mey langsung berjalan cepat menghampiri
teman serumahnya itu.
“Holla,”
sapa Mey singkat sambil mencomot drumstick
yang ada di piring temannya. Dua orang menggeser duduknya, memberi sebuah
jeda yang cukup untuknya duduk.
“Aku
kaget, biasanya kau jadi hantu penunggu pohon sakura jika jam-jam segini,” kata
Minori dengan wajah yang agak bingung. Mey menjawab pertanyaan temannya itu
hanya dengan tersenyum, terlintas dalam benaknya alasan ia meninggalkan pohon
sakuranya sambil mengeluarkan kotak makan yang telah ia persiapkan tadi pagi.
Jika
sahabatnya yang satu ini hanya menjawab pertanyaan dengan tersenyum seperti
saat ini, Minori sudah tahu walaupun dipaksa Mey tidak akan menjawab. Jawaban
Mey hanya akan menjadi rahasianya sendiri. Ayam bumbu teriyaki adalah menu
makan siang Mey hari ini. Walau tak seenak rasa masakan ibunya, Mey cukup
percaya diri untuk memasak.
(bersambung...)
(bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar