Selasa, 02 Oktober 2012

futari nin no omoide wasure teshimau mae ni (before the memories of us are forgotten) part III






Aku ingin berlari. Berlari dan menjauh. Dengan sebuah alasan kulindungi batu pualamku. Dan dengan alasan yang sama remuk. Tak ada yang tahu dan tak ada yang pernah tahu. Bukankan sebaiknya tak di katakana. Alasan untuk melindungi. Tapi sebaliknya.
Aku diam, tak berarti aku sedih. Aku menutup mataku rapat, tak berarti aku membenci. Aku hanya tak ingin ada lebih banyak batu pualam yang remuk.

Sekarang aku paham arti dari kata-kata yang selalu melintas dalam mimpi yang mengusik  tidur malamku. Tapi aku tetap tak ingin sendiri. Aku sudah terlalu lama sendiri. Mey terdiam dan lagi-lagi menerawang jauh melihat luasnya kolam taman dekat apartemennya. Ia harus menghadapi kenyataan yang membuatnya sulit bernafas.
Mey melepas sepatu ketz dan tas slempangnya. Ia berjalan menuju kolam. Air kolam yang menyentuh jemarinya terasa sangat dingin. Namun dinginnya air kolam tak sedingin hatinya malam itu.
Dingin sangat dingin. Gelap sangat gelap. Basah. Terpejam. Terlanjur.
Ditengah dinginnya air kolam sebuah tangan meraih tangannya. Menariknya ke tepi dan berteriak. Kumohon aku tak ingin mati. Maaf aku terlalu bodoh. Tolong biarkan aku hidup.
Mey membuka matanya perlahan. Cahaya matahari yang menyilaukan menembus sela-sela kayu di kamar itu. Ia menarik nafas lega. Aku selamat. Aku masih hidup. Mey mengangkat tangannya tinggi menggerak-gerakkan jari-jarinya. Menarik bibirnya, membentuk seulas senyuman simpul yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia kemudian duduk, sedikit nyeri pinggangnya mungkin karena terlalu banyak berbaring.
“Aww,” Mey mencubit kedua pipinya bersamaan. Ini bukan mimpi. Ini nyata dan aku hidup. Mey memandang sekelilingnya. Kamar dimana ia tidur sangat asing, ia menjelajahi sekeliling kamar itu dengan heran. Dalam hatinya bertanya-tanya dimana dia dan siapa yang menyelamatkannya.
Kamar tidurnya terkesan kuno. Dengan langit-langit yang rendah dan dinding serta pintu dari kertas. Tiba-tiba pintu di geser. Seorang perempuan muda dengan kimono polos berwarna krem masuk kedalam kamar Mey. Ia tampak terkejut melihat Mey telah bangun dari tidurnya. Mey hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Ijuuin-san telah bangun, saya akan membaritahukan berita ini pada tuan,” kata perempuan muda itu dengan formal. Mey mengerutkan keningnya bingung.
Ia tahu nama ku? Ahh pasti dari kartu identitasku. Sepertinya pemilik rumah ini terlalu kolot.  Bererapa saat kemudian perempuan muda itu datang kembali ke dalam kamar Mey. Mey tetap pada posisi semula, terduduk di atas kasur lantainya.
“Jika nona sudah merasa baik, tuan muda menunggu nona untuk bertemu. Pakaian yang nona butuhkan sudah tersedia,” perempuan muda itu berkata dengan halus seraya mengarahkan tangannya kearah tumpukan kain dan bergegas pergi.
Mey langsung bangun, sesuah perempuan muda itu tadi pergi. Pasti dia pelayan di rumah ini, bahkan melihatkupun dia takut. Mey menyimpulkan dan berjalan menuju tumpukan kain yang di tunjuk pelayan tadi.  Hya ….Apa kau gila?? Ini yang harus ku pakai? Ini furisode kimono?
Mey berkeliling kamar membuka setiap almari yang ada. Hanya ada kimono, perhiasan dan buku-buku dengan sampul aneh. Ia mendengus kesal dan merasa ada sesuatu yang salah di rumah penyelamat jiwanya itu. Untungnya Mey adalah seorang wanita yang cerdas, ia masih mengingat dengan jelas kursus cara memakai kimono yang pernah ia ikuti dengan Minori dulu.
Dengan serapi mungkin Mey mengenakan sebuah kimono berwarna merah jambu dengan hiasan bungan sakura. Ia menyerah pada rambut panjangnya dan membiarkanya tergerai di hiasi jepitan bunga sederhana. Mey cuklup puas melihat tampilannya yang baru di cermin. Ia tampak berbeda, sangat cantik. Ia juga tersenyum. Ini ku lakukan karena aku menghargainya karena telah menyelamatkanku. Toh aku terlihat cantik.
Setelah ia siap tak lama kemudian tiga orang pelayan mengetuk pintunya dan meminta izin untuk masuk. Sebelum berbicara mereka membungkuk dengan hormat den berkata-kata dengan sopan dan formal,” Nona Mei Lin, tuan muda mengundang nona untuk bergabung dalam makan siang ini. Kami datang untuk membantu berpakaian. Namun sepertinya nona telah bersiap dengan mandiri. Mari kami antar.”
Mey memiringkan kepalanya, di wajahnya tersirat kebingungan yang mendalam. Kumohon jangan bicara seformal ini dengan ku.  Ia hanya tersenyum malu, saat pelayan-pelayan itu memujinya.
Rumah sang penyelamat ini besar. Sebuah rumah jepang kuno diamana seluruhnya terbuat dari kayu dan kertas. Ralat rumah ini tidak besar tapi sangat besar. Sandal kayu yang di pakai oleh Mey hampir melukai kakinya sebelum akhirnya ia sampai di ruang makan. Penyelamatku pasti sangat kaya, rumahnya sebesar universitas ku. Tapi dia juga sangat kolot. Apa ini ruang makan? Bukan ini ruang jamuan makan, pesta makan.
Ruang makannya sangat besar, terdapat meja panjang berkaki pendek dengan bantal duduk berjejer. Oleh salah seorang pelayan Mey di persilahkan duduk di salah satu bantal. Ruang itu kembali kososng. Mey ditinggalkan sendirian setelah ketiga pelayan tadi pergi.
Sesaat kemudian pintu utama terbuka masuk seorang pemuda tinggi dengan kimono bewarna biru tua. Secara spontan Mey berdiri dan membungkuk memberi hormat. Pemuda itu tampak bingung melihat Mey dan balas memberi hormat. ”Apa kau sudah sehat? Bagaimana kondisimu?”
“Keadaanku sudah lebih baik, terimakasih telah menyelamatkan nyawaku,” Mey berusaha menjawab dengan kalimat yang formal untuk menghormati sang penyelamatnya. Lawan bicaranya tampak lebih bingung kemudian duduk mendekat.
“Apa kau benar-benar tidak apa-apa? Sepertinya kau tidak sedang baik saja. Akan ku perintahkan seorang tabib untuk ke kamarmu,” kata pemuda itu lagi. Tabib? Bagaimana kalau dokter. Sepertinya lebih dipercaya.
Sepeninggalan pemuda itu, Mey di bawa kembali ke kamarnya. Ia tidak langsung memasuki kamar. Berjalan berkeliling mungkin dapat menghilangkan kejenuhhannya. “Banyak hal yang janggal di rumah ini, aku harus menemukan ponsel dan tasku.”
Melintas seorang perempuan berkimono jingga tampak sangat anggun dengan rambut yang juga ditata dengan rapi. Mey menyipitkan matanya, perempuan itu tampak familiar. “Minori…”
Perempuan itu menoleh ragu dan berjalan menuju Mey yang melambaikan tangan padanya. “Apa sedang ada lomba costplay? Ini menggelikan,” kata Mey saat perempuan itu mendekat.
“Koss apa? Apa nona sudah sehat? Ijuuin-san tidak pernah memanggil saya dengan nama Minori. Tapi saya senang jika memang itu yang menjadi keinginan nona,” kata perempuan itu lagi. Mey tersentak kaget. Bahkan Minori juga. Apa aku sedang di kerjain? Jangan-jangan ada kamera CCTV di suatu tempat.
”Maaf, sepertinya kepalaku terbentur sesuatu, Ougi-san,” mulut Mey terasa sangat gatal saat memanggil nama marga Minori. Ia mencurigai ada sesuatu yang salah.
Setelah sedikit berbasa-basi dengan Ougi-san aka Minori, Mey berjalan berkeliling. Mey memang seorang gadis yang cerdas. Ia berusaha mencari dengan teliti di setiap penjuru rumah. Berjalan tanpa arah, kesana dan kemari. Ia menemukan sebuah kolam yang sama dengan kolam universitasnya. Kolam yang bersih dengan pohon sakura yang sedang mekar. Untungnya tetap ada tempat seindah ini di tempat seasing ini.
Mey menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia kembali teringat alasan ia ada di tepi kolam malam itu. Alasan yang membuatnya bertindak bodoh dan terdampar di tempat aneh. Tiba-tiba sebuah bayangan melintas, Mey menyadari ada yang sedang mengawasinya. Ia bergegas menoleh. Ada seorang pemuda lagi, pakaian yang ia gunakan  mirip dengan pemuda yang Mey temui di ruang makan tadi. Tapi pemuda yang ini terkesan lebih misterius dan lebih tampan.
“Apa yang kau lakukan disini? Apa kau ingin tergelincir lagi dan masuk ke kolam ini lagi?” kata pemuda itu tidak ramah. Mey menggigit bibir bagian bawahnya, matanya terpejam sesaat. Malam itu ia sangat yakin kalau terjatuh di kolam taman dekat apartemennya buka kolam rumah orang. Tidak mungkin di kolam ini tempat aku jatuh, kolam dekat rumah tidak ada pohon sakuranya. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Tubuh Mey bergeser mundur, ia terlalu terkejut dengan apa yang terjadi. Dengan banyak pertanyaan yang memenuhi otaknya, ia berjalan menjauh. Meninggalkan pemuda di pinggir kolam yang memandangnya dengan bingung.
Lima kali Mey tersesat, hingga akhirnya Mey ditemukan oleh pelayan dan diantarkan ke kamarnya. Diiringi oleh pelayannya, ia hanya diam. Matanya tampak kosong dan berkaca-kaca. Kebingungan menyelimutinya. Dimana aku?
(bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar