Aku ingin berlari. Berlari dan menjauh. Dengan sebuah alasan kulindungi batu pualamku. Dan dengan alasan yang sama remuk. Tak ada yang tahu dan tak ada yang pernah tahu. Bukankan sebaiknya tak di katakana. Alasan untuk melindungi. Tapi sebaliknya.
Aku diam, tak berarti aku sedih. Aku menutup mataku rapat, tak
berarti aku membenci. Aku hanya tak ingin ada lebih banyak batu pualam yang
remuk.
Sekarang aku paham arti dari kata-kata yang selalu melintas dalam
mimpi yang mengusik tidur malamku. Tapi
aku tetap tak ingin sendiri. Aku sudah terlalu lama sendiri. Mey terdiam dan lagi-lagi menerawang jauh melihat luasnya kolam
taman dekat apartemennya. Ia harus menghadapi kenyataan yang membuatnya sulit
bernafas.
Mey
melepas sepatu ketz dan tas slempangnya. Ia berjalan menuju kolam. Air kolam
yang menyentuh jemarinya terasa sangat dingin. Namun dinginnya air kolam tak
sedingin hatinya malam itu.
Dingin
sangat dingin. Gelap sangat gelap. Basah. Terpejam. Terlanjur.
Ditengah
dinginnya air kolam sebuah tangan meraih tangannya. Menariknya ke tepi dan
berteriak. Kumohon aku tak ingin mati.
Maaf aku terlalu bodoh. Tolong biarkan aku hidup.
Mey
membuka matanya perlahan. Cahaya matahari yang menyilaukan menembus sela-sela
kayu di kamar itu. Ia menarik nafas lega. Aku
selamat. Aku masih hidup. Mey mengangkat tangannya tinggi
menggerak-gerakkan jari-jarinya. Menarik bibirnya, membentuk seulas senyuman
simpul yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia kemudian duduk, sedikit
nyeri pinggangnya mungkin karena terlalu banyak berbaring.
“Aww,”
Mey mencubit kedua pipinya bersamaan. Ini
bukan mimpi. Ini nyata dan aku hidup. Mey memandang sekelilingnya. Kamar
dimana ia tidur sangat asing, ia menjelajahi sekeliling kamar itu dengan heran.
Dalam hatinya bertanya-tanya dimana dia dan siapa yang menyelamatkannya.
Kamar
tidurnya terkesan kuno. Dengan langit-langit yang rendah dan dinding serta
pintu dari kertas. Tiba-tiba pintu di geser. Seorang perempuan muda dengan
kimono polos berwarna krem masuk kedalam kamar Mey. Ia tampak terkejut melihat
Mey telah bangun dari tidurnya. Mey hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Ijuuin-san
telah bangun, saya akan membaritahukan berita ini pada tuan,” kata perempuan
muda itu dengan formal. Mey mengerutkan keningnya bingung.
Ia tahu nama ku? Ahh pasti dari kartu identitasku. Sepertinya
pemilik rumah ini terlalu kolot. Bererapa saat kemudian perempuan muda itu
datang kembali ke dalam kamar Mey. Mey tetap pada posisi semula, terduduk di
atas kasur lantainya.
“Jika
nona sudah merasa baik, tuan muda menunggu nona untuk bertemu. Pakaian yang
nona butuhkan sudah tersedia,” perempuan muda itu berkata dengan halus seraya
mengarahkan tangannya kearah tumpukan kain dan bergegas pergi.
Mey
langsung bangun, sesuah perempuan muda itu tadi pergi. Pasti dia pelayan di rumah ini, bahkan melihatkupun dia takut. Mey
menyimpulkan dan berjalan menuju tumpukan kain yang di tunjuk pelayan
tadi. Hya ….Apa kau gila?? Ini yang harus ku pakai? Ini furisode kimono?
Mey
berkeliling kamar membuka setiap almari yang ada. Hanya ada kimono, perhiasan
dan buku-buku dengan sampul aneh. Ia mendengus kesal dan merasa ada sesuatu
yang salah di rumah penyelamat jiwanya itu. Untungnya Mey adalah seorang wanita
yang cerdas, ia masih mengingat dengan jelas kursus cara memakai kimono yang
pernah ia ikuti dengan Minori dulu.
Dengan
serapi mungkin Mey mengenakan sebuah kimono berwarna merah jambu dengan hiasan
bungan sakura. Ia menyerah pada rambut panjangnya dan membiarkanya tergerai di
hiasi jepitan bunga sederhana. Mey cuklup puas melihat tampilannya yang baru di
cermin. Ia tampak berbeda, sangat cantik. Ia juga tersenyum. Ini ku lakukan karena aku menghargainya
karena telah menyelamatkanku. Toh aku terlihat cantik.
Setelah
ia siap tak lama kemudian tiga orang pelayan mengetuk pintunya dan meminta izin
untuk masuk. Sebelum berbicara mereka membungkuk dengan hormat den berkata-kata
dengan sopan dan formal,” Nona Mei Lin, tuan muda mengundang nona untuk
bergabung dalam makan siang ini. Kami datang untuk membantu berpakaian. Namun
sepertinya nona telah bersiap dengan mandiri. Mari kami antar.”
Mey
memiringkan kepalanya, di wajahnya tersirat kebingungan yang mendalam. Kumohon jangan bicara seformal ini dengan
ku. Ia hanya tersenyum malu, saat
pelayan-pelayan itu memujinya.
Rumah
sang penyelamat ini besar. Sebuah rumah jepang kuno diamana seluruhnya terbuat
dari kayu dan kertas. Ralat rumah ini tidak besar tapi sangat besar. Sandal
kayu yang di pakai oleh Mey hampir melukai kakinya sebelum akhirnya ia sampai
di ruang makan. Penyelamatku pasti sangat
kaya, rumahnya sebesar universitas ku. Tapi dia juga sangat kolot. Apa ini
ruang makan? Bukan ini ruang jamuan makan, pesta makan.
Ruang
makannya sangat besar, terdapat meja panjang berkaki pendek dengan bantal duduk
berjejer. Oleh salah seorang pelayan Mey di persilahkan duduk di salah satu
bantal. Ruang itu kembali kososng. Mey ditinggalkan sendirian setelah ketiga
pelayan tadi pergi.
Sesaat
kemudian pintu utama terbuka masuk seorang pemuda tinggi dengan kimono bewarna
biru tua. Secara spontan Mey berdiri dan membungkuk memberi hormat. Pemuda itu
tampak bingung melihat Mey dan balas memberi hormat. ”Apa kau sudah sehat?
Bagaimana kondisimu?”
“Keadaanku
sudah lebih baik, terimakasih telah menyelamatkan nyawaku,” Mey berusaha
menjawab dengan kalimat yang formal untuk menghormati sang penyelamatnya. Lawan
bicaranya tampak lebih bingung kemudian duduk mendekat.
“Apa
kau benar-benar tidak apa-apa? Sepertinya kau tidak sedang baik saja. Akan ku
perintahkan seorang tabib untuk ke kamarmu,” kata pemuda itu lagi. Tabib? Bagaimana kalau dokter. Sepertinya
lebih dipercaya.
Sepeninggalan
pemuda itu, Mey di bawa kembali ke kamarnya. Ia tidak langsung memasuki kamar.
Berjalan berkeliling mungkin dapat menghilangkan kejenuhhannya. “Banyak hal
yang janggal di rumah ini, aku harus menemukan ponsel dan tasku.”
Melintas
seorang perempuan berkimono jingga tampak sangat anggun dengan rambut yang juga
ditata dengan rapi. Mey menyipitkan matanya, perempuan itu tampak familiar.
“Minori…”
Perempuan
itu menoleh ragu dan berjalan menuju Mey yang melambaikan tangan padanya. “Apa
sedang ada lomba costplay? Ini menggelikan,” kata Mey saat perempuan itu
mendekat.
“Koss
apa? Apa nona sudah sehat? Ijuuin-san tidak pernah memanggil saya dengan nama
Minori. Tapi saya senang jika memang itu yang menjadi keinginan nona,” kata
perempuan itu lagi. Mey tersentak kaget. Bahkan
Minori juga. Apa aku sedang di kerjain? Jangan-jangan ada kamera CCTV di suatu
tempat.
”Maaf,
sepertinya kepalaku terbentur sesuatu, Ougi-san,” mulut Mey terasa sangat gatal
saat memanggil nama marga Minori. Ia mencurigai ada sesuatu yang salah.
Setelah
sedikit berbasa-basi dengan Ougi-san aka Minori, Mey berjalan berkeliling. Mey
memang seorang gadis yang cerdas. Ia berusaha mencari dengan teliti di setiap
penjuru rumah. Berjalan tanpa arah, kesana dan kemari. Ia menemukan sebuah
kolam yang sama dengan kolam universitasnya. Kolam yang bersih dengan pohon
sakura yang sedang mekar. Untungnya tetap
ada tempat seindah ini di tempat seasing ini.
Mey
menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia kembali teringat
alasan ia ada di tepi kolam malam itu. Alasan yang membuatnya bertindak bodoh
dan terdampar di tempat aneh. Tiba-tiba sebuah bayangan melintas, Mey menyadari
ada yang sedang mengawasinya. Ia bergegas menoleh. Ada seorang pemuda lagi, pakaian
yang ia gunakan mirip dengan pemuda yang
Mey temui di ruang makan tadi. Tapi pemuda yang ini terkesan lebih misterius
dan lebih tampan.
“Apa
yang kau lakukan disini? Apa kau ingin tergelincir lagi dan masuk ke kolam ini
lagi?” kata pemuda itu tidak ramah. Mey menggigit bibir bagian bawahnya,
matanya terpejam sesaat. Malam itu ia sangat yakin kalau terjatuh di kolam
taman dekat apartemennya buka kolam rumah orang. Tidak mungkin di kolam ini tempat aku jatuh, kolam dekat rumah tidak
ada pohon sakuranya. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Tubuh
Mey bergeser mundur, ia terlalu terkejut dengan apa yang terjadi. Dengan banyak
pertanyaan yang memenuhi otaknya, ia berjalan menjauh. Meninggalkan pemuda di
pinggir kolam yang memandangnya dengan bingung.
Lima
kali Mey tersesat, hingga akhirnya Mey ditemukan oleh pelayan dan diantarkan ke
kamarnya. Diiringi oleh pelayannya, ia hanya diam. Matanya tampak kosong dan
berkaca-kaca. Kebingungan menyelimutinya. Dimana
aku?
(bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar